Kalau kita mengatakan takdir, adalah dapat kita sebut "takdir Allah". Bila kita menyebutkan nasib, maka tak dapat kita sebutkan "nasib Allah". Melainkan lebih tepat disebutkan "nasib si Amin". Sedangkan mengenai keadaannya, antara takdir dan nasib adalah terwujud pada keadaan yang satu. Hanya dari mana sudut pandang melihat persoalannya, maka disebutkan ia dengan penyebutan yang berlainan. Bila dilihat dari Allah SWT maka suatu keadaan itu dinamakan "takdir Allah". Namun bila dilihat dari sudut si hamba, yaitu dari sudut si Amin, maka keadaan itu adalah penyebutannya "nasib si Amin".
Atau bila dikatakan dengan memakai perkataan takdir, penyebutannya menjadi "takdir Allah untuk si Amin". Sedangkan kalau disebutkan dengan menggunakan perkataan nasib, menjadilah penyebutannya "Nasib si Amin dari Allah SWT".
Takdir sendiri adalah bagian dari rukun iman, sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW "Iman itu ialah mengimankan Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, hari akhir dan mengimankan kadar (takdir), kadar baik dan kadar buruk. Dengan demikian, apakah seseorang tidak mempunyai daya upaya sama sekali, untuk memilih yang baik, untuk melakukan yang baik, semuanya sudah terserah kepada takdir Allah saja ?
Karena setiap manusia dilengkapi Allah dengan akal yang dapat digunakan untuk mengetahui sebagian hal yang benar dan yang salah, serta dapat membedakan mana yang menyenangkan dan yang mencelakakan. Kemudian, rahmat Allah yang terbesar, melalui Rasul-Nya, diturunkanlah agama untuk manusia hamba-Nya. Dimana dengan agama itu, manusia dituntun agar mengetahui mana yang benar dan mana yang sesat. Sehingga dengan demikian manusia wajib berikhtiar, wajib berdaya upaya untuk mendapatkan yang baik dan mengelakkan yang buruk. Wajib mengerjakan yang benar dan meninggalkan yang sesat.
Sebagai contoh, baiklah dilihat kehidupan Rasulullah sendiri. Rasul adalah utusan Allah, yang maksum (yang terpelihara), yang telah diampunkan segala dosanya, apabila ia ada berbuat kekeliruan dan kekhilafan. Namun demikian, beliau tetap mengerjakan shalat, bukan hanya shalat yang wajib, bahkan setiap malamnya beliau masih pula mendirikan shalat tahajud di pertengahan malam. Beliau mengerjakan puasa, bukan hanya puasa wajib, tapi juga puasa-puasa yang sunat.
Rasul yang maksum saja masih berusaha untuk ta'at dan ibadah kepada Allah SWT. Dimana ta'at dan ibadah beliau itu merupakan ikhtiar, merupakan daya upaya untuk mendapatkan redho Allah SWT. Apakah lagi bagi kita manusia biasa, yang tidak maksum, yang tidak terpelihara, maka adalah suatu kewajiban bagi kita untuk berdaya upaya sekuat tenaga untuk mendapatkan yang baik dan mengelakkan yang celaka.
Atau bila dikatakan dengan memakai perkataan takdir, penyebutannya menjadi "takdir Allah untuk si Amin". Sedangkan kalau disebutkan dengan menggunakan perkataan nasib, menjadilah penyebutannya "Nasib si Amin dari Allah SWT".
Takdir sendiri adalah bagian dari rukun iman, sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW "Iman itu ialah mengimankan Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, hari akhir dan mengimankan kadar (takdir), kadar baik dan kadar buruk. Dengan demikian, apakah seseorang tidak mempunyai daya upaya sama sekali, untuk memilih yang baik, untuk melakukan yang baik, semuanya sudah terserah kepada takdir Allah saja ?
Karena setiap manusia dilengkapi Allah dengan akal yang dapat digunakan untuk mengetahui sebagian hal yang benar dan yang salah, serta dapat membedakan mana yang menyenangkan dan yang mencelakakan. Kemudian, rahmat Allah yang terbesar, melalui Rasul-Nya, diturunkanlah agama untuk manusia hamba-Nya. Dimana dengan agama itu, manusia dituntun agar mengetahui mana yang benar dan mana yang sesat. Sehingga dengan demikian manusia wajib berikhtiar, wajib berdaya upaya untuk mendapatkan yang baik dan mengelakkan yang buruk. Wajib mengerjakan yang benar dan meninggalkan yang sesat.
Sebagai contoh, baiklah dilihat kehidupan Rasulullah sendiri. Rasul adalah utusan Allah, yang maksum (yang terpelihara), yang telah diampunkan segala dosanya, apabila ia ada berbuat kekeliruan dan kekhilafan. Namun demikian, beliau tetap mengerjakan shalat, bukan hanya shalat yang wajib, bahkan setiap malamnya beliau masih pula mendirikan shalat tahajud di pertengahan malam. Beliau mengerjakan puasa, bukan hanya puasa wajib, tapi juga puasa-puasa yang sunat.
Rasul yang maksum saja masih berusaha untuk ta'at dan ibadah kepada Allah SWT. Dimana ta'at dan ibadah beliau itu merupakan ikhtiar, merupakan daya upaya untuk mendapatkan redho Allah SWT. Apakah lagi bagi kita manusia biasa, yang tidak maksum, yang tidak terpelihara, maka adalah suatu kewajiban bagi kita untuk berdaya upaya sekuat tenaga untuk mendapatkan yang baik dan mengelakkan yang celaka.
No comments:
Post a Comment
Berkomentarlah dengan cerdas dan bijak, lebih baik diam daripada anda komentar yang tidak bermutu