Warisan Nabi di Gurun Pasir

Quran Explorer - [Sura : 2, Verse : 213 - 213]

Inilah kisah yang ditulis oleh R.V.C Bodley, seorang penulis terkenal asal Amerika, penulis buku Wind in the Sahara, The Messenger, dan empat belas buku lainnya. Pada tahun 1918 dia tinggal di Afrika Barat Laut, hidup bersama orang-orang nomaden (orang yang hidupnya berpindah-pindah) yang telah memeluk Islam. Mereka selalu shalat, berpuasa dan berdzikir kepada Allah.


Bodley adalah manusia intelektual, akal dan pemikirannya telah terasah sejalan dengan perkembangan iptek barat. Memahami dan menghayati pola kehidupan manusia di negara-negara maju dan modern. Di mana semua negara-negara di dunia berusaha mengikuti keberhasilan barat meraih kehidupan dunia yang materialistik. 

Di tengah-tengah kehidupan modern di barat yang serba cepat, bermunculan masalah-masalah kemanusiaan. Tiap kali muncul permasalahan, tiap kali itu pula mereka berusaha mengatasinya dengan iptek dan berpikir rasional. Mereka meyakini semua permasalahan dapat diatasi dengannya. Meski begitu permasalahan tidak juga kian mereda malahan semakin menjadi-jadi. 

Dalam keadaan begitu manusia barat kerap kali dihadapi kebingungan. Mereka tenggelam dari satu kebingungan ke kebingungan lainnya. Dari sini muncul berbagai tindakan manusia barat yang tidak lagi rasional tapi emosional dan irrasional. Mereka berusaha menghilangkan kebingungan dengan mabok-mabokan, menelan ribuan obat penenang, memerangi negara-negara lemah dan memeras habis kekayaan alam negara-negara terbelakang. 

Si penulis itu menceritakan pengalamannya di tengah kaum muslimin sebagai pembanding kehidupan di barat. Dia menuliskan : "Suatu hari badai mengamuk, melemparkan bebatuan gurun, membawanya melewati laut Mediterania, dan jatuh di sungai Rhone di Perancis. Angin itu panas sekali, sampai rambut saya hangus rasanya. Tenggorokan jadi kering dan sangat haus. Mata terasa pedih. Gigi kotor penuh pasir. Rasanya saya berdiri di depan tungku api pabrik gelas. Saya jadi hampir gila karena tidak kuat menahan ganasnya alam. Tetapi orang-orang Arab itu tidak mengeluh. Mereka hanya mengangkat kedua bahunya dan berkata, "qadha un maktub (sudah ditakdirkan begini)."


Begitu badai selesai, mereka pun kembali bekerja melanjutkan pekerjaan mereka dengan semangat. Semua anak kambing yang ada disembelih, karena pasti akan mati terkena efek badai itu. Dengan menyembelih semua anak kambing yang ada, mereka berharap dapat menyelamatkan induknya. Setelah penyembelihan anak kambing selesai, kambing yang hidup segera digiring ke selatan untuk diberi minum. Semua ini dilakukan dengan biasa-biasa saja. Mereka sama sekali tidak merasa sedih, mengeluh atau menyesali kerugian yang mereka derita. Kepala suku mereka berkata, "Kita memang kehilangan harta. Akan tetapi bersyukurlah kepada Allah bahwa 40 persen dari kambing-kambing kita masih hidup. Dari jumlah ini kita dapat mulai beternak lagi."


Saya ingat, pada kesempatan yang lain kami naik mobil menyebrangi padang pasir. Ban mobil kami pecah satu. Sopir lupa menambah ban serep. Jadi kami berada di tengah lautan pasir dengan tiga ban saja. Saya marah dan bingung. Saya tanya pada orang-orang arab itu, apa yang akan mereka perbuat. Mereka mengingatkan saya bahwa bingung atau marah itu tidak akan pernah menolong, tapi justru akan menambah suasana hati menjadi semakin panas dan pikiran keruh. Mereka mengatakan ban tersebut pecah karena kehendak Allah. Tak ada yang bisa diperbuat. Terpaksa kami meneruskan perjalanan dengan satu ban kempes. Tak lama kami berjalan, mobil berhenti dengan sendirinya, ternyata bensinnya habis. Dengan kejadian ini tak ada satu pun yang marah. Kami tetap tenang. Kami pun meneruskan perjalanan ke tempat tujuan dengan berjalan kaki sambil berdendang gembira. 


Setelah tujuh tahun hidup bersama orang-orang Arab, saya menjadi yakin bahwa orang-orang Amerika dan Eropa yang tertekan mentalnya, sakit jiwa dan minum-minuman beralkohol adalah korban dari kehidupan kota yang selalu ingin serba cepat. 


Selama hidup di gurun saya tidak pernah merasa bingung berkepanjangan. Disana seperti berada di kebun Tuhan, saya menemukan kedamaian, kepuasan hati dan ketenangan batin. Banyak orang menghinakan paham fatalistis yang dianut oleh orang-orang Arab, dan banyak pula orang yang mencemoohkan kepatuhan mereka terhadap qadha dan qadar Allah.


Tapi siapa yang tahu ? Bisa jadi orang-orang Arab itu malah berhasil mendapatkan hakekat dari kehidupan ini. Jika saya kembali kepada ingatan dibelakang, dan melihat kehidupan saya, jelas bahwa kehidupan itu terdiri dari periode-periode yang saling terpisah satu sama lain. Dan hal itu yang harus saya jalani, tanpa pernah diberi waktu untuk menimbang-nimbang atau untuk menolaknya. Orang-orang Arab menyebut peristiwa-peristiwa seperti ini dengan qadar, qismah atau keputusan Allah.


Pendek kata, setelah tujuh belas tahun meninggalkan gurun, saya tahu bahwa saya masih tetap berpegang teguh pada sikap pasrah menghadapi qadha Allah. Dan, saya menghadapi semua kejadian yang tidak mungkin dielakkan dengan damai, penuh kepatuhan dan tenang. Sikap yang saya dapatkan dari orang-orang Arab ini lebih manjur untuk menenangkan syaraf-syaraf saya ketimbang ribuan obat penenang, plesiran dan lain-lain.


Orang-orang Arab yang hidup di gurun itu mengambil kebenaran ini dari lentera Nabi Muhammad. Inti dari risalah Rasullullah adalah menyelamatkan manusia dari kesengsaraan, mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya, menghilangkan debu yang berada di atas kepala mereka, serta menghilangkan beban dan belenggu yang memberatkan. Perjanjian yang menjadi dasar pengutusan Rasullullah mengandung rahasia-rahasia kedamaian dan ketenangan. 


Di dalam risalah Rasullullah itu, ada petunjuk-petunjuk ke arah keselamatan, yakni, mengakui qadha, bekerja sesuai dengan dalil, berusaha ke arah keselamatan, dan berjuang mencapai hasil. Risalah Rabbaniyah itu sebenarnya turun untuk memberikan batasan yang jelas terhadap posisi manusia di alam semesta ini. Tujuannya tidak lain adalah agar jiwa manusia tenang, hati manusia damai, kegelisahan manusia sirna, amalan manusia bersih dan akhlak manusia baik. Dengan demikian, manusia bisa menjadi hamba-hamba Tuhan Maha Penyayang. Mereka bisa memahami apa hikmah di balik keberadaannya dan mengetahui apa tujuan di balik penciptaannya. Tidak bingung di kegelapan malam dan tidak terlalu gembira dalam terangnya siang.  

No comments:

Post a Comment

Berkomentarlah dengan cerdas dan bijak, lebih baik diam daripada anda komentar yang tidak bermutu